Memahami filsafat Islam tidak bisa dengan menggunakan cara yang
sederhana. Menentukan difinisinya saja masih terjadi silang pendapat.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang
lahir dari pemikiran orang Islam. Lalu dipertanyakan, mengapa tidak
disebut filsafat muslim?.
Tidak hanya tujuan utamanya, yaitu memperoleh kebijakan yang bermuara pada metafisika (ilahiyat) yang searah dengan tujuan utama filsafat Yunani, demikian juga bahan-bahan atau ide-idenya juga diambil dari Yunani, seperti kata Fazlur Rahman. Yang membedakannya adalah baju aktualisasinya yang bermerek Islam. Kearifan yang diupayakan adalah kualitas keagamaan melalui penerapan struktur filsafat Yunani pada prinsip-prinsip Islam. Jelasnya menurut Fazlur Rahman, filsafat Islam adalah filsafat yang memberi gema Islam ke dalam filsafat, khususnya filsafat
Yunani. Tetapi bagi Seyyed Hoessein Nasr filsafat Islam justru filsafat yang bersumber dari sumber dasar Islam yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Dalam prakteknya, filsafat Islam menjabarkan prinsip-prinsip dan menimba inspirasi dari kedua sumber tersebut sehingga melahirkan corak filsafat yang prinsip berbeda, walaupun pada tataran permukaan banyak persamaan degan filsafat Yunani sebagai akibat dari proses inklusivitas dan adaptasi kreatif. Karena bertumpun pada kedua sumber yang berupa wahyu itu, maka H. Corbin menyebut filsafat Islam sebagai filsafat Kenabian. Dengan demikian, filsafat Islam tidak bisa disederhanakan dengan sekedar filsafat yang lahir dan dikelola dalam dunia Islam.
Mencari kearifan merupakan makna dasar istilah filsafat(philo:cinta dan shophia:kearifan), yang sejatinya ada sejak zaman purba, setidaknya al-Farabi dalam kitabnya Tahshil al-Saadah mencatat orang-orang Kaldan (kawasan Misopotamia) adalah pemilik purba tradisi filsafat yang diwariskan oleh orang-orang Mesir lalu turun ke Yunani. Walaupun demikian, tradisi India dan China juga tak bisa dikesampingkan karena banya tidak punya kaitan langsung dengan filsafat Yunani yang biasanya ditasbihkan sebagai tanaj tumpah darah filsafat.
Ditangan orang Yunani, tradisi mencari kearifan dilakukan secara lebih intensif dengan metode yang semakin teratur dan sistematis serta berusaha melepaskan diri dari berbagai mitos. Usaha ini lebih bertumpu pada logos atau usaha rasional. Tapi juga tidak mengesampingkan, pengembaraan filosofis itu dengan usaha intuitif. Sejak zaman Yunani pun, metode yang digunakan tidak tunggal dan tidak hanya bertumpu pada kemampuan olah rasional saja tetapi juga menggunakan metode intuitif. Karena pendekatan metode intuitif dengan penyucian jiwa juga dikenal. Plato dan Plotinus dengan madzhab Platonisme dan Neo-Platonisme diidentifikasikan sebagai aliran ini. Sebagai conterpart Aristotelianisme atau madzahab Peripatetik.
Hanya saja, dalam perkembangan modernnya di tangan Barat, filsafat dipersempit pada sekedar usaha rasioal dan pendekatan intuitif diidentifikasikan dengan mistik, bahkan okultis. Pemiskinan yang cenderung bernaung di bawah dominasi positivisme sains atau reduksi pada logika dan linguistik semata itu dinilai membuat filsafat penyimpang dari tujuan asal yaitu cinta kearifan (philo-shophia) ke benci kearifan (miso-shophia).
Dalam pandangan para filosof muslim filsafat tetap sebagaimana makna dasarnya yaitu cinta kearifan. Ia bertujuan mencari hakikat segala yang ada (wujud), tanpa harus dibatasi pada usaha rasional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan segala sumber pengetahuan secara integratif, mulai dari potensi rasional, intuisi dan wahyu. Corak filosof muslim sangatlah beragam, seperti figur utama Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang menganut madzhab Peripetatik, figur Suhrawardi dengan madzhab Iluminasionistik (Israqi), figur Mulla Sadra dengan Hikmah Mutaaliyah-nya dan Ibnu Arabi dengan ahdat al-Wujud-nya, walaupun menurut William Chittick, Ibnu Arabi tidak pernah menyebut istilah itu, sedangkan Al-Ghazali dengan corak religius-ortodok yang bermuara ke sufistik.
Dalam Islam, filsafat dengan berbagai aliran dan coraknya tetap dalam semangat manka aslinya cinta kearifan. Dalam Islam sendiri terdapat istilah hikmah yang diidentifikasikan sebagai filsafat. Karena filsafat di Barat modern telah mempersempit arti pada sekedar usaha rasional, beberapa peneliti lebih suka menerjemahkan hikmah dengan theosophy dari pada philosophy untuk menghindari kesalahan makna. Dalam hikmah, kebenaran yang dicari akan berpuncak pada kebenaran tertinggi, yakni Tuhan sebagai Yang Maha Benar (AL-Haqq). Itulah puncak pencarian dan itulah puncak kebenaran sehingga metafisika disebut al-falsafat al-ula sebagaimana menjadi salah satu buku al-Kindi, Fi alFalsafat al-Ula, Filsafat, hikmah dan Haqiqat di satu sisi dan di sisi lain failasuf, hakim dan al-Haqq adalag kesatuan yang tak dapat dipisahkan untuk membangun pengertian yang menyeluruh tentang filsafat Islam dan menghindari kesalahfahaman.
Kearifan yang dicari itu tidak hanya dalam tataran konseptual. Seperti ditegaskan al-Kindi dalam Fi al-Falsafat al-Ula, bahwa filsafat memiliki tujuan teoretis yaitu kebenaran dan tujuan praktis yaitu prilakuyang sesuai dengan kebenaran yang diperoleh. Maka kearifan yang dimaksud dalam filsafat Islam bukan sekedar pada ranah teoretis tapi juga prilaku dan pola hidup sebagai cermin utuh pribadi seorang hakim (orang yang arif/bijak). Keutuhan kearifan dari difinisi al-Kindi di atas juga diterima oleh al- Farabi dengan membagi dasarnya menjadi pada sesuatu yang bersifat keyakinan (al-yaqinniyyah) dan dugaan (al-madznunah) sekaligus menegaskan bahwa filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dalam Uyun al-Hikmah, Ibnu Sina memberikan padangan senada, tentang filsafat atau hikmah sebagai kesempurnaan jiwa manusia melalui tasawwur (konseptualisasi) dan tasdiq (pembenaran) atas realitas teoretis dan praktis sesuai dengan kemampuan manusia.
Tentu menjadi ironis jika filsafat ditolak, ketika pengertian sebenarnya identik dengan hikmah dan para filosof telah membuktikan keutuhan kearifan antara teori dan praktek. Ibnu Sina, yang dinobatkan sebagai tokoh terbesar Peripatetik muslim, selalu sholat setiap berhadapan dengan persoalan keilmuan yang pelik. Ia juga menampikkan gagasan hikmah al-masyriqiyyah yang searah dengan hikmah al-israq-nya Suhrawardi. Ibnu Rusyd adalah qadhi al-qudhat, pemegang otoritas keagamaan tertinggi di Andalusia. Apalagi Ibnu Arabi dan Suhrawardi yang memang menekankan kejernihan batin untuk menangkap kebenaran hakiki dan realitas metafisik. Kehidupan praktis para filosof muslim sering lepas dari perhatian, karena hanya terfokus pada ide yang sering ditangkap secara tidak utuh. Menurut Oliver Leaman bahwa berbagai corak filosof muslim menunjukkan kreativitas para filosof dalam menyelesaikan berbagai persoalan mendasar dalam Islam, tetapi tetap berada dibawah satu payung paradigma ketauhidan yang bersumber pada Al-Quran danhadits.
Tidak hanya tujuan utamanya, yaitu memperoleh kebijakan yang bermuara pada metafisika (ilahiyat) yang searah dengan tujuan utama filsafat Yunani, demikian juga bahan-bahan atau ide-idenya juga diambil dari Yunani, seperti kata Fazlur Rahman. Yang membedakannya adalah baju aktualisasinya yang bermerek Islam. Kearifan yang diupayakan adalah kualitas keagamaan melalui penerapan struktur filsafat Yunani pada prinsip-prinsip Islam. Jelasnya menurut Fazlur Rahman, filsafat Islam adalah filsafat yang memberi gema Islam ke dalam filsafat, khususnya filsafat
Yunani. Tetapi bagi Seyyed Hoessein Nasr filsafat Islam justru filsafat yang bersumber dari sumber dasar Islam yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Dalam prakteknya, filsafat Islam menjabarkan prinsip-prinsip dan menimba inspirasi dari kedua sumber tersebut sehingga melahirkan corak filsafat yang prinsip berbeda, walaupun pada tataran permukaan banyak persamaan degan filsafat Yunani sebagai akibat dari proses inklusivitas dan adaptasi kreatif. Karena bertumpun pada kedua sumber yang berupa wahyu itu, maka H. Corbin menyebut filsafat Islam sebagai filsafat Kenabian. Dengan demikian, filsafat Islam tidak bisa disederhanakan dengan sekedar filsafat yang lahir dan dikelola dalam dunia Islam.
Mencari kearifan merupakan makna dasar istilah filsafat(philo:cinta dan shophia:kearifan), yang sejatinya ada sejak zaman purba, setidaknya al-Farabi dalam kitabnya Tahshil al-Saadah mencatat orang-orang Kaldan (kawasan Misopotamia) adalah pemilik purba tradisi filsafat yang diwariskan oleh orang-orang Mesir lalu turun ke Yunani. Walaupun demikian, tradisi India dan China juga tak bisa dikesampingkan karena banya tidak punya kaitan langsung dengan filsafat Yunani yang biasanya ditasbihkan sebagai tanaj tumpah darah filsafat.
Ditangan orang Yunani, tradisi mencari kearifan dilakukan secara lebih intensif dengan metode yang semakin teratur dan sistematis serta berusaha melepaskan diri dari berbagai mitos. Usaha ini lebih bertumpu pada logos atau usaha rasional. Tapi juga tidak mengesampingkan, pengembaraan filosofis itu dengan usaha intuitif. Sejak zaman Yunani pun, metode yang digunakan tidak tunggal dan tidak hanya bertumpu pada kemampuan olah rasional saja tetapi juga menggunakan metode intuitif. Karena pendekatan metode intuitif dengan penyucian jiwa juga dikenal. Plato dan Plotinus dengan madzhab Platonisme dan Neo-Platonisme diidentifikasikan sebagai aliran ini. Sebagai conterpart Aristotelianisme atau madzahab Peripatetik.
Hanya saja, dalam perkembangan modernnya di tangan Barat, filsafat dipersempit pada sekedar usaha rasioal dan pendekatan intuitif diidentifikasikan dengan mistik, bahkan okultis. Pemiskinan yang cenderung bernaung di bawah dominasi positivisme sains atau reduksi pada logika dan linguistik semata itu dinilai membuat filsafat penyimpang dari tujuan asal yaitu cinta kearifan (philo-shophia) ke benci kearifan (miso-shophia).
Dalam pandangan para filosof muslim filsafat tetap sebagaimana makna dasarnya yaitu cinta kearifan. Ia bertujuan mencari hakikat segala yang ada (wujud), tanpa harus dibatasi pada usaha rasional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan segala sumber pengetahuan secara integratif, mulai dari potensi rasional, intuisi dan wahyu. Corak filosof muslim sangatlah beragam, seperti figur utama Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang menganut madzhab Peripetatik, figur Suhrawardi dengan madzhab Iluminasionistik (Israqi), figur Mulla Sadra dengan Hikmah Mutaaliyah-nya dan Ibnu Arabi dengan ahdat al-Wujud-nya, walaupun menurut William Chittick, Ibnu Arabi tidak pernah menyebut istilah itu, sedangkan Al-Ghazali dengan corak religius-ortodok yang bermuara ke sufistik.
Dalam Islam, filsafat dengan berbagai aliran dan coraknya tetap dalam semangat manka aslinya cinta kearifan. Dalam Islam sendiri terdapat istilah hikmah yang diidentifikasikan sebagai filsafat. Karena filsafat di Barat modern telah mempersempit arti pada sekedar usaha rasional, beberapa peneliti lebih suka menerjemahkan hikmah dengan theosophy dari pada philosophy untuk menghindari kesalahan makna. Dalam hikmah, kebenaran yang dicari akan berpuncak pada kebenaran tertinggi, yakni Tuhan sebagai Yang Maha Benar (AL-Haqq). Itulah puncak pencarian dan itulah puncak kebenaran sehingga metafisika disebut al-falsafat al-ula sebagaimana menjadi salah satu buku al-Kindi, Fi alFalsafat al-Ula, Filsafat, hikmah dan Haqiqat di satu sisi dan di sisi lain failasuf, hakim dan al-Haqq adalag kesatuan yang tak dapat dipisahkan untuk membangun pengertian yang menyeluruh tentang filsafat Islam dan menghindari kesalahfahaman.
Kearifan yang dicari itu tidak hanya dalam tataran konseptual. Seperti ditegaskan al-Kindi dalam Fi al-Falsafat al-Ula, bahwa filsafat memiliki tujuan teoretis yaitu kebenaran dan tujuan praktis yaitu prilakuyang sesuai dengan kebenaran yang diperoleh. Maka kearifan yang dimaksud dalam filsafat Islam bukan sekedar pada ranah teoretis tapi juga prilaku dan pola hidup sebagai cermin utuh pribadi seorang hakim (orang yang arif/bijak). Keutuhan kearifan dari difinisi al-Kindi di atas juga diterima oleh al- Farabi dengan membagi dasarnya menjadi pada sesuatu yang bersifat keyakinan (al-yaqinniyyah) dan dugaan (al-madznunah) sekaligus menegaskan bahwa filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dalam Uyun al-Hikmah, Ibnu Sina memberikan padangan senada, tentang filsafat atau hikmah sebagai kesempurnaan jiwa manusia melalui tasawwur (konseptualisasi) dan tasdiq (pembenaran) atas realitas teoretis dan praktis sesuai dengan kemampuan manusia.
Tentu menjadi ironis jika filsafat ditolak, ketika pengertian sebenarnya identik dengan hikmah dan para filosof telah membuktikan keutuhan kearifan antara teori dan praktek. Ibnu Sina, yang dinobatkan sebagai tokoh terbesar Peripatetik muslim, selalu sholat setiap berhadapan dengan persoalan keilmuan yang pelik. Ia juga menampikkan gagasan hikmah al-masyriqiyyah yang searah dengan hikmah al-israq-nya Suhrawardi. Ibnu Rusyd adalah qadhi al-qudhat, pemegang otoritas keagamaan tertinggi di Andalusia. Apalagi Ibnu Arabi dan Suhrawardi yang memang menekankan kejernihan batin untuk menangkap kebenaran hakiki dan realitas metafisik. Kehidupan praktis para filosof muslim sering lepas dari perhatian, karena hanya terfokus pada ide yang sering ditangkap secara tidak utuh. Menurut Oliver Leaman bahwa berbagai corak filosof muslim menunjukkan kreativitas para filosof dalam menyelesaikan berbagai persoalan mendasar dalam Islam, tetapi tetap berada dibawah satu payung paradigma ketauhidan yang bersumber pada Al-Quran danhadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar