Laman

Senin, 24 Oktober 2011

Batas dogma

REPUBLIKA.CO.ID,  Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada di sebuah jalan di Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli mengangkut beban berat, yakni sebongkah batu di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu, Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, "Jatuhkan batu itu, wahai kuli!" katanya memerintah.
 
Sang kuli langsung melaksanakan titah sang raja, menjatuhkan batu di tengah jalan. Batu yang teronggok di tengah jalan itu menjadi gangguan bagi siapa pun yang ingin
lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya sejumlah warga memohon kepada raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.
 
Namun Mahmud, yang menyadari kebijaksanaan administratif, terpaksa menjawab. 
"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu
itu di situ."
 
Oleh karenanya, batu tersebut tetap berada di tengah jalan itu selama masa  pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia meninggal pun batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang masih menghormati perintah raja.
 
Kisah itu sangat terkenal. Orang-orang mengambil maknanya berdasarkan salah satu  dari tiga tafsiran, masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Mereka yang menentang penguasa beranggapan bahwa kisah itu  merupakan bukti ketololan  penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya. Mereka yang menghormati  kekuasaan merasa hormat terhadap perintah, betapapun tidak menyenangkannya.
 
Mereka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa memahami nasihat yang tersirat. Dengan menyuruh menjatuhkan batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan gangguan, dan kemudian membiarkannya berada di sana,  Mahmud mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi—dan sekaligus menyadarkan kita bahwa siapa pun yang memerintah berdasarkan dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan. 

Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju kebenaran.
 
CatatanKisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal, Akhlaq-i-Mohsini (Akhlak  Dermawan) karya Hasan Waiz Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada  dalam versi ini.
 
Versi ini merupakan bagian ajaran Syekh Sufi Daud dari Kandahar, yang meninggal pada 1965. Kisah ini merupakan pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman terhadap tindakan;  masing-masing orang akan menilainya berdasarkan  pendidikannya. 

Metode penggambaran tak langsung yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut para Sufi, dan bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding, agar pintu bisa mendengar!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar